Tuesday, October 03, 2006

Ungkapan Jujur Seorang Anak

----- Original Message -----
From: "M. Sigit Yuniarso" <Sigit.Yuniarso@bankmandiri.co.id>
To: <Zamrud-BlokS@googlegroups.com>
Sent: Tuesday, October 03, 2006 4:13 PM
Subject: [Zamrud-BlokS] Ungkapan Jujur Seorang Anak


Dari Millist tetangga, mohon maaf kalo sebelumnya sudah pernah membaca.
Semoga kita menjadi lebih care dalam mendidik anak. Mungkin bisa dicoba di rumah.


Ungkapan Jujur Seorang Anak

Tahun 2002 yang lalu saya harus mondar-mandir ke SD Budi Mulia
Bogor. Anak sulung kami yang bernama Dika, duduk di kelas 4 di SD itu. Waktu itu
saya memang harus berurusan dengan wali kelas dan kepala sekolah. Pasalnya
menurut observasi wali kelas dan kepala sekolah, Dika yang duduk di
kelas unggulan, tempat penggemblengan anak-anak berprestasi itu, waktu itu
justru tercatat sebagai anak yang bermasalah.

Saat saya tanyakan apa masalah Dika, guru dan kepala sekolah justru
menanyakan apa yang terjadi di rumah sehingga anak tersebut selalu
murung dan menghabiskan sebagian besar waktu belajar di kelas hanya untuk
melamun. Prestasinya kian lama kian merosot. Dengan lemah lembut saya tanyakan
kepada Dika:
"Apa yang kamu inginkan ?" Dika hanya menggeleng.
"Kamu ingin ibu bersikap seperti apa ?" tanya saya.
"Biasa-biasa saja" jawab Dika singkat.
Beberapa kali saya berdiskusi dengan wali kelas dan kepala sekolah
untuk mencari pemecahannya, namun sudah sekian lama tak ada kemajuan. Akhirnya
kamipun sepakat untuk meminta bantuan seorang psikolog.

Suatu pagi, atas seijin kepala sekolah, Dika meninggalkan sekolah
untuk menjalani test IQ. Tanpa persiapan apapun, Dika menyelesaikan soal demi
soal dalam hitungan menit. Beberapa saat kemudian, Psikolog yang tampil
bersahaja namun penuh keramahan itu segera memberitahukan hasil testnya.
Angka kecerdasan rata-rata anak saya mencapai 147 (Sangat Cerdas)
dimana skor untuk aspek-aspek kemampuan pemahaman ruang, abstraksi, bahasa,
ilmu pasti, penalaran, ketelitian dan kecepatan berkisar pada angka 140 -
160.

Namun ada satu kejanggalan, yaitu skor untuk kemampuan verbalnya tidak
lebih dari 115 (Rata-Rata Cerdas).
Perbedaan yang mencolok pada 2 tingkat kecerdasan yang berbeda
itulah yang menurut psikolog, perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut. Oleh sebab
itu psikolog itu dengan santun menyarankan saya untuk mengantar Dika kembali
ke tempat itu seminggu lagi. Menurutnya Dika perlu menjalani test
kepribadian.

Suatu sore, saya menyempatkan diri mengantar Dika kembali mengikuti
serangkaian test kepribadian. Melalui interview dan test tertulis yang
dilakukan, setidaknya Psikolog itu telah menarik benang merah yang
menurutnya menjadi salah satu atau beberapa faktor penghambat kemampuan
verbal Dika. Setidaknya saya bisa membaca jeritan hati kecil Dika.
Jawaban yang jujur dari hati Dika yang paling dalam itu membuat saya
berkaca diri, melihat wajah seorang ibu yang masih jauh dari ideal.

Ketika Psikolog itu menuliskan pertanyaan "Aku ingin ibuku :...."
Dika pun menjawab : "membiarkan aku bermain sesuka hatiku, sebentar
saja"
Dengan beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa selama ini saya
kurang memberi kesempatan kepada Dika untuk bermain bebas. Waktu itu
saya berpikir bahwa banyak ragam permainan-permainan edukatif sehingga saya
merasa perlu menjadwalkan kapan waktunya menggambar, kapan waktunya
bermain puzzle, kapan waktunya bermain basket, kapan waktunya membaca buku
cerita, kapan waktunya main game di komputer dan sebagainya. Waktu itu saya
berpikir bahwa demi kebaikan dan demi masa depannya, Dika perlu menikmati
permainan-permainan secara merata di sela-sela waktu luangnya yang
memang tinggal sedikit karena sebagian besar telah dihabiskan untuk sekolah dan
mengikuti berbagai kursus di luar sekolah. Saya selalu pusing memikirkan
jadwal kegiatan Dika yang begitu rumit. Tetapi ternyata permintaan Dika
hanya sederhana : diberi kebebasan bermain sesuka hatinya, menikmati
masa kanak-kanaknya.

Ketika Psikolog menyodorkan kertas bertuliskan "Aku ingin Ayahku ..."
Dika pun menjawab dengan kalimat yang berantakan namun kira-kira
artinya "Aku ingin ayahku melakukan apa saja seperti dia menuntutku melakukan
sesuatu". Melalui beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa Dika tidak mau
diajari atau disuruh, apalagi diperintah untuk melakukan ini dan itu. Ia
hanya ingin melihat ayahnya melakukan apa saja setiap hari, seperti apa
yang diperintahkan kepada Dika. Dika ingin ayahnya bangun pagi-pagi kemudian
membereskan tempat tidurnya sendiri, makan dan minum tanpa harus
dilayani orang lain, menonton TV secukupnya, merapikan sendiri koran yang habis
dibacanya dan tidur tepat waktu. Sederhana memang, tetapi hal-hal
seperti itu justru sulit dilakukan oleh kebanyakan orang tua.
Ketika Psikolog mengajukan pertanyaan "Aku ingin ibuku tidak ..."
Maka Dika menjawab "Menganggapku seperti dirinya"
Dalam banyak hal saya merasa bahwa pengalaman hidup saya yang suka
bekerja keras, disiplin, hemat, gigih untuk mencapai sesuatu yang saya inginkan
itu merupakan sikap yang paling baik dan bijaksana. Hampir-hampir saya ingin
menjadikan Dika persis seperti diri saya. Saya dan banyak orang tua
lainnya seringkali ingin menjadikan anak sebagai foto copy diri kita atau bahkan
beranggapan bahwa anak adalah orang dewasa dalam bentuk sachet kecil.

Ketika Psikolog memberikan pertanyaan "Aku ingin ayahku tidak : .."
Dika pun menjawab "Tidak menyalahkan aku di depan orang lain. Tidak
mengatakan bahwa kesalahan-kesalahan kecil yang aku buat adalah dosa"
Tanpa disadari, orang tua sering menuntut anak untuk selalu
bersikap dan bertindak benar, hingga hampir-hampir tak memberi tempat kepadanya untuk
berbuat kesalahan. Bila orang tua menganggap bahwa setiap kesalahan
adalah dosa yang harus diganjar dengan hukuman, maka anakpun akan memilih untuk
berbohong dan tidak mau mengakui kesalahan yang telah dibuatnya dengan
jujur. Kesulitan baru akan muncul karena orang tua tidak tahu kesalahan
apa yang telah dibuat anak, sehingga tidak tahu tindakan apa yang harus kami
lakukan untuk mencegah atau menghentikannya. Saya menjadi sadar bahwa
ada kalanya anak-anak perlu diberi kesempatan untuk berbuat salah, kemudian
iapun bisa belajar dari kesalahannya. Konsekuensi dari sikap dan
tindakannya yang salah adakalanya bisa menjadi pelajaran berharga supaya
di waktu-waktu mendatang tidak membuat kesalahan yang serupa.

Ketika Psikolog itu menuliskan "Aku ingin ibuku berbicara tentang ....."
Dika pun menjawab "Berbicara tentang hal-hal yang penting saja".
Saya cukup kaget karena waktu itu saya justru menggunakan
kesempatan yang sangat sempit, sekembalinya dari kantor untuk membahas hal-hal yang
menurut saya penting, seperti menanyakan pelajaran dan PR yang diberikan
gurunya. Namun ternyata hal-hal yang menurut saya penting, bukanlah sesuatu yang
penting untuk anak saya. Dengan jawaban Dika yang polos dan jujur itu
saya dingatkan bahwa kecerdasan tidak lebih penting dari pada hikmat dan
pengenalan akan Tuhan. Pengajaran tentang kasih tidak kalah pentingnya
dengan ilmu pengetahuan.

Atas pertanyaan "Aku ingin ayahku berbicara tentang .....",
Dika pun menuliskan "Aku ingin ayahku berbicara tentang
kesalahan-kesalahannya. Aku ingin ayahku tidak selalu merasa benar,
paling hebat dan tidak pernah berbuat salah. Aku ingin ayahku mengakui
kesalahannya dan meminta maaf kepadaku".
Memang dalam banyak hal, orang tua berbuat benar tetapi sebagai
manusia, orang tua tak luput dari kesalahan. Keinginan Dika sebenarnya sederhana,
yaitu ingin orang tuanya sportif, mau mengakui kesalahnya dan kalau
perlu meminta maaf atas kesalahannya, seperti apa yang diajarkan orang tua
kepadanya.

Ketika Psikolog menyodorkan tulisan "Aku ingin ibuku setiap hari ....."
Dika berpikir sejenak, kemudian mencoretkan penanya dengan lancar "Aku
ingin ibuku mencium dan memelukku erat-erat seperti ia mencium dan memeluk
adikku" Memang adakalanya saya berpikir bahwa Dika yang hampir setinggi saya
sudah tidak pantas lagi dipeluk-peluk, apalagi dicium-cium. Ternyata saya
salah, pelukan hangat dan ciuman sayang seorang ibu tetap dibutuhkan supaya
hari-harinya terasa lebih indah. Waktu itu saya tidak menyadari bahwa
perlakukan orang tua yang tidak sama kepada anak-anaknya seringkali oleh
anak-anak diterjemahkan sebagai tindakan yang tidak adil atau pilih
kasih.

Secarik kertas yang berisi pertanyaan "Aku ingin ayahku setiap hari ...."
Dika menuliskan sebuah kata tepat di atas titik-titik dengan satu kata
"tersenyum"
Sederhana memang, tetapi seringkali seorang ayah merasa perlu menahan
senyumannya demi mempertahankan wibawanya. Padahal kenyataannya senyuman
tulus seorang ayah sedikitpun tidak akan melunturkan wibawanya, tetapi
justru bisa menambah simpati dan energi bagi anak-anak dalam melakukan
segala sesuatu seperti yang ia lihat dari ayahnya setiap hari.
Ketika Psikolog memberikan kertas yang bertuliskan "Aku ingin ibuku
memanggilku...."
Dika pun menuliskan "Aku ingin ibuku memanggilku dengan nama yang
bagus"
Saya tersentak sekali! Memang sebelum ia lahir kami telah memilih nama
yang paling bagus dan penuh arti, yaitu Judika Ekaristi Kurniawan. Namun
sayang, tanpa sadar, saya selalu memanggilnya dengan sebutan Nang. Nang dalam
Bahasa Jawa diambil dari kata "Lanang" yang berarti laki-laki.

Ketika Psikolog menyodorkan tulisan yang berbunyi "Aku ingin ayahku
memanggilku .."
Dika hanya menuliskan 2 kata saja, yaitu "Nama Asli".
Selama ini suami saya memang memanggil Dika dengan sebutan "Paijo"
karena sehari-hari Dika berbicara dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Sunda
dengan logat Jawa medok. "Persis Paijo, tukang sayur keliling" kata suami saya.
Atas jawaban-jawaban Dika yang polos dan jujur itu, saya menjadi malu
karena selama ini saya bekerja di sebuah lembaga yang membela dan
memperjuangkan hak-hak anak. Kepada banyak orang saya kampanyekan pentingnya
penghormatan hak-hak anak sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak Sedunia. Kepada
khalayak ramai saya bagikan poster bertuliskan "To Respect Child Rights is an
Obligation, not a Choice" sebuah seruan yang mengingatkan bahwa
"Menghormati Hak Anak adalah Kewajiban, bukan Pilihan".
Tanpa saya sadari, saya telah melanggar hak anak saya karena telah
memanggilnya dengan panggilan yang tidak hormat dan bermartabat.
Dalam diamnya anak, dalam senyum anak yang polos dan dalam tingkah
polah anak yang membuat orang tua kadang-kadang bangga dan juga kadang-kadang
jengkel, ternyata ada banyak Pesan Yang Tak Terucapkan. Seandainya semua
ayah mengasihi anak-anaknya, maka tidak ada satupun anak yang kecewa
atau marah kepada ayahnya. Anak-anak memang harus diajarkan untuk menghormati
ayah dan ibunya, tetapi para orang tua tidak boleh membangkitkan amarah
di dalam hati anak-anaknya. Para orang tua harus mendidik anaknya di dalam
ajaran dan nasehat yang baik.
(Ditulis oleh : Lesminingtyas)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home